Ushul Fiqih dan Metodologi dalam Ekonomi Islam
Ushul Fiqh Ekonomi
Islam
1.
Definisi
Ushul Fiqih dan Kedudukannya dalam Ekonomi Islam
Ushul Fiqih dalam Ekonomi Islam adalah
metodologi yurisprudensi Islam, yaitu ilmu hukum Islam yang menghasilkan
produk-produk hukum Islam, fikih muamalah,
fatwa-fatwa dan regulasi berdasarkan dengan Al – Qur’an, Hadits, dan
Ijtihad. Ilmu Ushul fiqih adalah ilmu hukum Islam yang sering disebut juga
sebagai The Principle of Islamic Jurisprudence yang didalamnya mengatur
perilaku manusia didalam menjalankan perekonomiannya.[1]Ilmu Ushul Fiqih memberikan dalil-dalil syariah dan argumentasi syariah
mengenai suatu kebijakan, produk, sistem dan mekanisme ekonomi Islam.
Semua ulama sepakat bahwa Ushul Fiqih
menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi
dalam Al-Muwafaqat mengatakan “mempelajari ilmu
Ushul Fiqih merupakan sesuatu yang sangat penting dan mutlak diperlukan, karena
melalui ilmu inilah dapat diketahui
kandungan dan maksud setiap dalil syara’
(Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil syariah itu di lapangan.” Selain itu juga, Imam
Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu Ushul Fiqih merupakan satu di antara tiga ilmu
yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab.
2. Peran Ushul Fiqih dalam Ekonomi Islam
Islam sangat memperhatikan perekonomian
umatnya, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya ayat-ayat Al-quran, Sunah,
maupun Ijtihad para ulama yang berbicara
tentang perekonomian. Bahkan ayat yang terpanjang dalam Alquran justru
berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah atau akidah.Ayat yang
terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah al-Baqarah. Al Qur’an sebagai
pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan
mengandung bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan,
sehingga Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan
transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.[2]
Ulama ekonomi Islam sesungguhnya adalah
bagian dari ulama mujtahid, karena ulama – ulama ini berijtihad memecahkan
berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya
berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis, memberikan
solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga
keuangan syariah, memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh
masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli
syariah atau dewan syariah, harus menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam
karena ilmu ini diperlukan untuk berijtihad.
Jadi bisa disimpulakan bahwa peran ushul
fiqih dalam ekonomi islam adalah :
a.
Memberikan pedoman dalam pengkajian dan pemahaman pada disiplin ilmu
ekonomi.
b.
Menentukan hukum dalam ekonomi islam melalui berbagai metode ijtihad.
c.
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan untuk menetapkan hukum
dari berbagai persoalan ekonomi yang terus berkembang.
Adapun
yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :
1. Menjelaskan macam-macam hukum dan
jenis-jenis hukum seperti wajib, haram,
sunnat, makruh, dan mubah.
2. Menjelaskan macam-macam dalil dan
permasalahannya.
3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya.
4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.
Jadi yang
menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagi
dapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat
kully dari segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully
(umum) pula,sedangkan yang menjadi pokok pembahasannya adalah :
1.
Hukum,
yang didalamnya meliputi wajib, sunnat, makruh, mubah, haram, hasan,
qabih,’ada, qada, shahih, fasid, dan lain-lain.
2.
Adillah
,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.
3.
Jalan-jalan
serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).
4.
Mustambith,yaitu
mujthid dengan syarat-syaratnya.
5.
Dalil-dalil
untuk menginstimbathkan hukum
Didalam kehidupan manusia selalu terjadi perubahan sosial sehingga
selalu muncul persoalan-persoalan baru didalam masyarakat. Untuk memecahkan
persoalan yang beru belum ada nash yang jelas diperlukan istimbath hukum.
Istimbath artinya mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan
yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad yang didasarkan
kepada dalil yang ada dalam al-qura’an dan sunnah.
Bila timbul suatu permasalahan yang timbul di dapati hukumnya dalam
al-quran dan hadis maka harus melakukan istimbath dengan berijtihad menggunakan
ra’yu untuk mendapatkan suatu hukum,dengan berpedoman kepada maksud syara’ dan
kaidah-kaidah umum untuk menetapkan hukum yang ada dalam qur’an dan hadist.
Ulama
ushul dalam melakukan istimbath hukum itu didasarkan kepada dalil ra’yu dengan
alasan : firman Allah yang berbunyi :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu [287];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam
firman diatas terlihat adanya ancaman bagi orang yang mengikuti hawa nafsu
dalam menetapkan suatu hukum,sebab ada perintah untuk mengembalikan masalah
kepada apa yang telah disyari’atkan Allah dan Rasulnya,dengan menggunakan
penelitian seksama terhadap masalah apa yang nashnya tersembunyi atau tidak
tegas melalui kaidah-kaidah umum dengan menyesuaikan pada maknah syara’.
2.2
Metodologi Ekonomi Islam
Dalam mengembangkan ilmu ekonomi
Islam menurut Muhammad Abdul Manan ada beberapa langkah yang dapat dilalui
yaitu : Pertama, mengidentifikasi masalah yang ada. Kedua,
mencari prinsipnya dalam nash baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun
implisit. Dalam operasionalnya, yang menjadi prinsip atau asas perlu dirumuskan
terlebih dahulu. Di sinilah proses perumusan teori ekonomi Islam dimulai.
Pertanyaan-pertanyaan seperti why, how, what, who, where, when selalu
dikaitkan dengan maslah yang telah diidentifikasi. Setelah itu perumusan
kebijakan.[[3]]
Setiap sistem ekonomi pasti
didasarkan pada ideologi yang memberikan landasan, tujuan, aksioma-aksioma,
serta prinsip-prinsip. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatau komunitas
sosio ekonomi dapat memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kepentingan produksi
dan mendistribusikan hasilnya untuk dikonsumsi. Sebagai sebuah sistem ekonomi,
ekonomi Islam diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan.
Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti ini ditentukan secara pasti
dan proses fungsionalisasinya sangat jelas.
Dalam mengembangkan teori ekonomi
Islam, harus ditarik antara bagian dari hukum (fiqh) yang membahas fiqh
muamalah dan ekonomi Islam. Bagian fiqh muamalah menetapkan kerangka di bidang
ekonomi Islam, sedangkan ekonomi Islam mengkaji proses kegiatan manusia yang
berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi dalam masyarakat. Ekonomi
Islam dibatasi dengan hukum ekonomi Islam, tapi bukan satu-satunya. Norma
sosial dan norma-norma agama dan aturan hukum pun mempunyai pengaruh terhadap
kegiatan ekonomi.
Kelemahan literatur ekonomi Islam
selama ini, mencampuradukkan analisis fiqh dalam ekonomi, atau analisis ekonomi
dalam pandangan fiqh. Seperti teori konsumsi kadang berubah menjadi hukum
mengenai makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen, atau
teori produksi diperkecil maknanya menjadi kajian hak kepemilikan dalam Islam
bukan pada perilaku perusahaan sebagai unit produksi. Hal lain yang tidak
menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam kaca mata Fiqh Muamalah adalah
menjadikan teori ekonomi Islam pecah dan kehilangan keterkaitan dengan teori
ekonomi. Hal inilah menyebabkan tidak adanya teori moneter dalam literatur
ekonomi Islam yang ada selama ini.
Diversifikasi literatur mengenai
ekonomi Islam dalam bentuk tertulis, yang ada hanya teori yang bersifat
filosofis Islam terhadap realitas ekonomi. Masalah lain muncul dari kenyatan
nash Al-Qur’an dan Hadits yang tidak tersusun dan bab-bab yang membahas satu
aspek kehidupan manusia seperti masalah ekonomi, hukum, politik, dan
sebagainya. Yang ada adalah hasil pemikiran, pandangan, penafsiran sarjana
Muslim terhadap nash yang berkaitan dengan ekonomi. Dari sini mencul dua metode
yang dipergunakan dalam literatur ekonomi Islam, yaitu metode deduktif dan
metode retrospektif. Metode deduktif dikembangkan oleh fuquha. Metode ini
diaplikasikan dalam ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip dan
kerangka hukum Islam. Metode kedua dipergunakan oleh penulis Muslim kontemporer
yang merasakan tekanan kemiskinana dan keterbelakangan dunia Islamsehingga
berusaha mencari jalan keluar terhadap persoalan yang ada dengan
memformulasikannya dalam bentuk teori. Seperti yang dilakukan al-Maqrizi dalam
menjawab masalah inflasi di masanya.[4]
Kajian tentang sejarah sangat
penting dalam ilmu ekonomi Islam. Sebagai suatu ilmu perlu merujuk pada sejarah
agar dapat melaksanakan eksperimen dan dapat menjawab kecenderungan masa depan
terkait dengan perubahan kegiatan ekonomi. Kajian sejarah yang terpenting
adalah sejarah pemikiran ekonomi Islam dan sejarah unit-unit ekonomi. Sepanjang
sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin politik sudah mengembangkan
gagasan-gagasan ekonomi mereka. Penelitian ini penting untuk menampilkan
pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (w.182 H)
Al-Ghazali (w.505 H), Ibnu Taimiyah (w.728 H) dan lain sebagainya. Kajian
tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam itu akan membantu menemukan
sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer yang dapat memperkaya ekonomi
Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan
aplikasinya.
Perdebatan yang selalu muncul dalam
diskursus ekonomi Islam adalah apakah ekonomi Islam itu suatu ilmu pengetahuan
yang normatif, positif, atau keduanya. Secara umum, ilmu pengetahuan positif
mempelajari problema-problema ekonomi, seperti apa adanya yang dapat diuji
melalui pengamatan empiris atau fakta-fakta. Sementara itu, ilmu pengetahuan
normatif mempersoalkan bagaimana harusnya sesuatu itu, penilaian terhadap apa
yang baik dan buruk. Para peneliti ekonomi Barat, lebih banyak membatasi diri
pada persoalan positif ketimbang membahas persoalan-persoalan normatif. Begitu
juga dengan para ahli ekonomi Islam yang menganalisis ilmu ekonomi Islam dengan
kerangka intelektual dunia Barat, memisahkan antara ilmu penegetahuan positif
dan normatif. Namun, ada pihak lain memandang ilmu ekonomi Islam merupakan
pengetahuan normatif.
Dewan Rahardjo dalam hal ini
berpendapat, sebagai cabang ilmu pengetahuan sosial, ekonomi Islam tidak bebas
dari nilai-nilai moral. Dengan perkataan lain,aspek normatifnya lebih menonjol
dari aspek positifnya, bahkan aspek normatifnya bersifat instrumental dalam
menganalisis gejala-gejala perekonomian yang ada serta berlaku untuk menentukan
arah tindakan yang sesuai dengan tujuan Islam.
Muhammad Abdul Manan berpendapat, di
dalam buku pengetahuan ekonomi Islam, aspek-aspek normatif dan positif tidak
bisa dipisahkan. Sesungguhnya Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber normatif
sekaligus berisi aspek positif. Dipandang dari segi ini pemisahan antara kedua
aspek ini sangat tidak relevan dalam ilmu ekonomi Islam karena keduanya
terjalin erat dalam kehidupan, filsafat, dan kebijaksanaan ekonomi Islam, maka
perbedaan antara aspek normatif dengan positif akan menjadi kabur atau hilang
sama sekali. Selanjutnya, setiap usaha untuk membedakan antara aspek positif
dan normatif akan mebawa kepada sekularisasi ekonomi Islam. Kecenderungan
menguji segala sesuatu dengan pengetahuan manusia yang terbatas akan merusak
asas-asas ekonomi Islam. Dengan demikian, ekonomi Islam merupakan suatu ilmu
pengetahuan sosial yang mengintegrasikan antara aspek normatif dengan positif,
seperti dua sisi mata uang yang sama. Artinya, maslah ekonomi Islam harus
ditinjau secara keseluruhan tanpa memisahkannya antara komponen normatif atau
positif.
Terkait dengan persoalan ini, di
kalangan ekonom Muslim masih terdapat perbedaan pendapat apakah sistem ekonomi
Islam itu ada atau tidak sama sekali. Ada yang berpendapat, sebagai sebuah
sistem yang bisa disusun sebagai sebuah konsep yang khas (a distinct concept)
masih disangsikan. Karena yang ada hanyalah nilai Islam tentang kehidupan
berkenomi dalam suatu sistem perekonomian yang sifatnya sangat universal.
Namun, menurut pendapat lain, sebagai suatu konsep atau teori, ekonomi Islam
bisa disusun dengan teori yang berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis. Karena itu, menurut pendapat ini, ekonomi Islam merupakan suatu
konsep atau teori yang dikembangkan berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
Dalam menatap keraguan tentang
eksistensi ekonomi Islam, Yusuf al-Qaradhawi mencoba mengambil jalan tengah.
Menurutnya, jika yang dimaksud dengan sistem atau aturan dalam bentuk terurai
termasuk cabang, rincian, dan pengaplikasian yang beraneka ragam, maka wujudnya
memang tidak ada. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah gambaran secara global
yang mencakup dasar-dasar petunjuk dan kaidah-kaidah yang pasti, memang ada.
Ini karena Islam selalu menetapkan secara global masalah-masalah yang selalu
mengalami perkembangan seiring dengan perubahan lingkungan dan zaman. Tidak
diragukan lagi bahwa ekonomi dan politik termasuk masalah-masalah yang banyak mengalami perubahan. Karena itu, dalam
masalah ini nash-nash hanya menetapkan prinsip dan dasar yang bersifat menyeluruh.
Pemikiran tentang sistem ekonomi Islam
terus berkembang. Berbagai lembaga yang ada di negara-negara Islam seperti
Pakistan, Arab Saudi, dan lain-lain, terus berupaya mengembangkan system
ekonomi Islam. Begitu juga konsep ekonomi Islam ini dibahas dalam berbagai
konferensi atau seminar internasional telah diangkatkan seperti di Mekkah tahun
1976 dan negara-negara lainnya. Bahkan pemikiran tentang ekonomi Islam tersebut
telah menjadi sebuah gerakan yang telah dimanifestasikan dalam wujud nyata
dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian Islam, seperti Bank Islam,
Asuransi Islam, dan lembaga perekonomian lainnya di beberapa negara Islam
termasuk di Indonesia dengan Bank Umum Syariah, Bank Unit Syariah, BPRS, BMT,
Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah, dan lain sebagainya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Islam sebagai sebuah konsep atau
ajaran dasar yang tidak diragukan lagi keberadaannya. Prinsip-prinsip dasarnya
tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi yang berbentuk ajaran dasar dan
bersifat global.
Dengan berpedoman pada norma-norma
pada perekonomian yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, gerakan sistem
perekonomian Islam harus dimulai dari gerakan spiritual dan kultural, yaitu
dengan menanamkan nilai etis secara luas dalam perilaku ekonomi. Ini berarti
sistem ekonomi Islam akan bisa menjadi kekuatan sosial dan menjadi suatu pola
pembangunan alternatif baik ditingkat nasional maupun internasional. Namun,
yang perlu digarisbawahi adalah sistem ekonomi Islam belum bisa menjadi
kekuatan alternatif jika nilai-nilai ekonomi Islam tersebut belum disadari dan
diamalkan dalam kehidupan masyarakat Islam. Konsekuensinya, sistem ekonomi
Islam itu pada awalnya harus merupakan sesuatu gerakan spiritual dan gerakan
budaya.
M. Nejatullah Siddiqi, dalam
persoalan ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam yang cocok untuk masyarakat
Islam akan tercipta jika sejumlah orang bersikap dalam suasana yang Islami.
Untuk itu, dibutuhkan suatu usaha penyelidikan tentang tingkah laku ekonomi
kontemporer dan lembaga-lembaga sosial ekonomi dengan membandingkan apa yang
mungkin bisa menjadi lembaga alternatif yang sesuai dengan Islami. Berarti,
gerakan ekonomi Islam merupakan hasil suatu proses transformasi nilai-nilai
Islam yang membentuk kerangka serta perangkat kelembagaan dan pranata ekonomi
yang hidup dan berproses dalam kehidupan masyarakat.
2.3
Karakteristik Ekonomi
Islam
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa
ekonomi Islam itu adalah ekonomi yang berasaskan ketuhanan, berwawasan
kemanusiaan, berakhlak, dan ekonomi pertengahan. Sesungguhnya ekonomi Islam
adalah ekonomi ketuhanan, ekonomi kemanusiaan, ekonomi akhlak, dan ekonomi
pertengahan. Dari pengertian yang dirumuskan al-Qaradhawi ini muncul empat
nilai-nilai utama yang terdapat dalam ekonomi Islam sehingga menjadi
karakteristik ekonomi Islam, yaitu :
1.
Iqtishad Rabbani (Ekonomi Ketuhanan).
Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiyyah karena titik awalnya
berangkat dari Allah dan tujuannya untuk mencapai ridha Allah. Karena itu
seorang Muslim dalam aktivitas ekonominya, misalnya ketika membeli atau menjual
dan sebagainya berarti menjalankan ibadah kepada Allah. Semua aktivitas ekonomi
dalam Islam kalau dilakukan sesuai dengan syariatnya dan niat ikhlas maka akan
bernilai ibadah di sisi Allah.hal ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia
di muka bumi yaitu, untuk beribadah kepada-Nya.
2.
Iqtishad Akhlaqi (Ekonomi Akhlak).
Hal yang membedakan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi lain adalah dalam sistem ekonomi Islam antara ekonomi dengan akhlak
tidak pernah terpisah sama sekali, seperti tidak pernah terpisahnya antara ilmu
dengan akhlak, antara siyasah dengan akhlak karena akhlak adalah urat
nadi kehidupan Islam. Kesatuan antara ekonomi dengan akhlak ini semakin jelas
terlihat pada setiap aktivitas ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi,
konsumsi, distribusi, dan sirkulasi. Seorang Muslim baik secara pribadi maupun
kelompok tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya ataupun yang
menguntungkannya saja, karena setiap Muslim terikat oleh iman dan akhlak yang
harus diaplikasikan dalam setiap aktivitas ekonomi, di samping terikat dengan
undang-undang dan hukum syariat.
3.
Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan).
Ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan kehidupan baik dengan
memberi kesempatan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu,
manusia perlu hidup dengan pola kehidupan rabbani sekaligus manusiawi sehingga
ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan, kepada dirinya, keluarga, dan
kepada manusia lain secara umum. Manusia dalam sistem ekonomi Islam adalah
tujuan sekaligus sasaran dalam setiap kegiatan ekonomi karena ia telah
dipercayakan sebagai khalifah-Nya (QS Al-Baqarah [2] : 30). Allah memberikan
kepda manusia beberapa kemampuan dan sarana yang memungkinkan mereka
melaksanakan tugasnya. Karena itu, manusia wajib beramal dengan berkreasi dan
berinovasi dalam setiap kerja keras mereka. Dengan demikian akan dapat terwujud
manusia sebagai tujuan kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam sekaligus
merupakan sarana dan pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah diajarkan
Allah kepadanya.
4.
Iqtishad Washathi (Ekonomi Pertengahan).
Karakteristik Islam adalah sikap pertengahan, seimbang (tawazun)
antara dua kutub (aspek duniawi dan ukhrawi) yang berlawanan dan bertentangan.
Arti tawazun (seimbang) di antara dua kutub ini adalah memberikan kepada setiap
kutub itu haknya masing-masing secara adil atau timbangan yang lurus tanpa
mengurangi atau melebihkannya seperti aspek keakhiratan dan keduniawian. Dalam
sistem Islam, individualisme dan sosialisme bertemu dalam bentuk perpaduan yang
harmonis. Di mana kebebasan individu dengan kebebasan masyarakat seimbangan,
antara hak dan kewajiban serasi, imbalan dan tanggung jawab terbagi dengan
timbangan yang lurus.
Washatiyyah (pertengahan atau keseimbangan) merupakan nilai-nilai
yang utama dalam ekonomi Islam. Bahkan nilai-nilai ini menurut Yusuf
al-Qaradhawi merupakan ruh atau jiwa dari ekonomi Islam. Ciri khas pertengahan
ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh individu dan
masyarakat. Berdasarkan prinsip ini, sistem ekonomi Islam tidak menganiaya
masyarakat terutama golongan ekonomi lemah, seperti yang telah terjadi dalam
masyarakat ekonomi kapitalis, juga tidak memperkosa hak dan kebebasan individu
seperti yang telah dibuktikan golongan ekonomi komunis. Akan tetapi Islam
mengambil posisi dipertengahan berada di antara keduanya, memberikan hak
masing-masing individu dan dan msyarakat secara utuh. Menyeimbangkan antara
bidang produksi dan konsumsi, antara satu produksi dengan produksi lain.
Karakteristik ekonomi islam:
1. Harta kepunyaan Allah dan Manusia merupakan khalifah
atas harta;
2. Ekonomi terikat dengan akidah, syariah, (hukum), dan
moral;
3. Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan;
4. Keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan umum;
5. Kebebasan individu dijamin dalam Islam;
6. Negara diberi wewenang turut campur dalam
perekonomian;
7. Bimbingan konsumsi;
8. Petunjuk investasi;
9. Zakat;
10. Larangan riba.
Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan
dalam Al-Mausu’ah Al-Ilmiyyah wa Al-Amaliyyah Al-Islamiyyah yang dapat
diringkas sebagai berikut: “Harta kepunyaan Allah dan Manusia merupakan
Khalifah atas harta”.
1.
Karakteristik
pertama ini, yaitu
a. Pertama, semua harta baik benda maupun alat produksi adalah
milik (kepunyaan Allah), firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 284:
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِنْ تُبْدُوا مَا
فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَنْ
يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan
Allah SWT dalam hal:
1. Esa dalam hal kekuasaan-Nya.
2. Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam
ini.
Allah SWT Esa dalam memiliki seluruh makhluk, maksudnya hanya Allah SWT
sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam
ini, tidak ada sesuatu pun yang bersekutu dengan Dia.
Allah SWT Esa dalam mengetahui segala sesuatu di alam ini, maksudnya
Allah SWT mengetahui yang bear dan yang kecil, yang tampak dan tidak tampak
oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud dialam ini, maka wujudnya itu
tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Allah SWT Esa dalam kekuasaan-Nya, maksudnya apa yang terjadi di alam ini
adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah
kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut
ada, sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, maka sesuatu itu
lenyap. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatn hamba-Nya, serta mengampuni
atau mengazabnya dan keputusan yang adil hanyalah di tangan-Nya saja.
2. Ekonomi terikat dengan akidah, syariah (hukum), dan moral.
Hubungan
ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti
pandangan Islam terhadap alam semesta yang disediakan untuk kepentingan
manusia. Hubungan ekonomi islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan
aktivitas ekonomi dalam Islam menjadi ibadah. Sedangkan di antara bukti
hubungan ekonomi dan moral dalam Islam adalah:
a.
Larangan
terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas
harta orang lain atau kepentingan masyarakat.
b.
Larangan
melakukan penipuan dalam transaksi.
c.
Larangan
menimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya sehingga
mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan untuk mewujudkan
perekonomian masyarakat.
d.
Larangan
melakukan pemborosan karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.
3. Keseimbangan
antara kerohanian dan kebendaan.
Beberapa
ahli barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap Islam. Mereka menyatakan bahwa
Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri). Selain
itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsur
keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia).
Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
4. Keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi
Ekonomi
Islam menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
umum. Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah Islam tidak mengakui
hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu
termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi
keseimbangan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk
kepemilikan individu dan umum.
Kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk menyejahterakan dirinya tidak boleh
dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan
masyarakat secara umum. Ciri ini jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis
yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan sistem ekonomi sosialis yang
lebih menekankan kepentingan umum.
5. Kebebasan
individu dijamin dalam Islam
Individu-individu
dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara
perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan. Namun kebebasan tersebut
tidak boleh melanggar aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur’an maupun hadits. Dengan demikian, kebebasan tersebut sifatnya tidak
mutlak.
Prinsip
kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan sistem ekonomi kapitalis
maupun sosialis. Dalam kapitalis, kebebasan individu dalam berekonomi tidak
dibatasi norma-norma ukhrawi, sehingga tidak ada urusan halal atau haram.
Sementara dalam sosialis justru tidak ada kebebasan sama sekali, karena seluruh
aktivitas ekonomi masyarakat diatur dan ditujukan hanya untuk negara.
6. Negara
diberi wewenang turut campur dalam perekonomian
Islam
memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian sehingga kebutuhan
masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara
proporsional. Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan
masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang, maupun dari negara lain.
Negara juga
berkewajiban memberikan jaminan soaial agar seluruh masyarakat dapat hidup
secara layak. Peran negara dalam perekonomian pada sistem Islam ini jelas
berbeda dengan sistem kapitalis yang sangat membatasi peran negara. Berbeda
pula dengan sistem sosialis yang memberikan kewenangan negara untuk mendominasi
perekonomian secara mutlak.
7. Bimbingan
konsumsi
Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa konsumsi (baca: proses konsumsi) merupakan bagian yang sangat penting
dalam kajian ekonomi Islam[[5]] Baginya kegiatan konsumsi tidak hanya sekedar bagaimana menggunakan
hasil produksi. Lebih dari itu, konsumsi Islami harus dapat menciptakan sebuah
distribusi pendapatan dan kekayaan (ekonomi) yang adil. Keberadaan segala
bentuk pelarangan konsumsi barang mewah dalam Islam tanpa disertai redistribusi
kekayaan dan pendapatan tidak akan sama sekali menyelesaikan masalah-masalah
ekonomi.[[6]]
Dalam analisis lain, Monzer Kahf mengaitkan kegiatan konsumsi dalam
Islam dengan rasionalisme Islam, konsep falah, dan skala
waktu. Khaf menyatakan, konsumsi dalam Islam berimplikasi pada dua tujuan,
yaitu duniawi dan ukhrawi. Baginya, memaksimalkan pemuasan (kebutuhan) tidaklah
dikutuk dalam Islam selama kegiatan tersebut tidak melibatkan hal-hal yang
merusak.[[7]]
8. Petunjuk Investasi
Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, Al-Mawsu’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan
pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu:
a.
Proyek yang baik menurut Islam.
b.
Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat.
c.
Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan.
d.
Memelihara dan menumbuhkembangkan harta.
e.
Melindungi kepentingan anggota masyarakat.
9. Zakat
Penumpukan harta adalah penyebab utama ketidakmeraatan pendapatan yang
dialami hampir oleh semua negara. Ketidakmerataan pendapatan tersebut dapat
mengarah pada terciptanya kemiskinan dan pengangguran. Sebagai solusi dari
masalah tersebut berbagai macam instrumen dirumuskan oleh para ekonom. Dalam
sistem ekonomi kovensional, pajak (misalnya : PBB, PPh dan Cukai ) adalah
instrumen yang digunakan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pendapatan.
Adapun hasilnya akan dipergunakan negara untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya,
untuk membangun jalan raya.
Sejalan dengan maksud tersebut, di dalam sistem ekonomi islam dikenal
dengan adanya ZIS zakat, infak dan Shodaqoh sebagai instrumen
bagi pemerataan pendapatan. Islam juga mengikutsertakan negara dalam tanggung
jawab mendapatkan zakat, infak dan shodaqoh[[8]] dan
mendistribusikannya. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Misalnya, orang yang berhak mengambil zakat adalah penguasa atau pemerintah
yang sah menurut syari’ah melalui orang yang disebut al-Qur’an sebagai
“al-‘Amilina ‘alaiha” (‘amil zakat), yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat,
memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya.
Zakat adalah salah satu karasteristik ekonomi Islam mengenai harta yang
tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian diluar Islam tidak
mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta
tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam.
10. Larangan
riba
Menurut Al-Ghazali, Uang diciptakan bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk menjadi perantara memperoleh barang yang lain. Memperjual
belikan uang berarti telah menyalahi maksud penciptaannya, sekaligus
memenjarakan fungsi uang itu sendiri. Namun demikian, ia memperbolehkan
mempertukarkan mata uang yang satu dengan mata uang yang lain karena kebutuhan
hidup, sehingga dapat memperlancar aktivitas ekonomi sehari-hari.
Dalam hal ini rasulullah SAW bersabda:
“Dinar dengan dinar
tidak ada tambahan diantara keduanya. Dirham dengan dirham tidak ada tambahan
di antara keduanya. Barang siapa mempunyai kebutuhan terhadap uang kecil maka
hendaknya ia menukarkannya dengan emas dan barang siapa mempunyai kebutuhan
terhadap emas, hendaknya ia menukarkannya dengan uang kecil.” (Riwayat Ibnu
Majah).
Selain itu, Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk menutupi munculnya
riba-riba tersembunyi, setiap transaksi harus dilakukan secara simultan dan
dengan kualitas serta kuantitas yang sebanding. Kemudian mengenai penetapan
bunga atas utang piutang, ia menganggap bahwa tindakan tersebut sama saja
dengan membelokkan fungsi uang. Ia menyatakan :“Menahan penguasa dan tukang
pos adalah pelangggaran, karena dengan demikian mereka dicegah untuk
menjalankan fungsinya; demikian pula halnya dengan uang.”
Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal
yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian barang. Di antara faktor
yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang normal adalah bunga
(riba). Secara etimologi riba berarti; tambahan (az-ziyadah),
berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’) dan membesar (al-’uluw).
Berikut terminologi Riba berdasarkan pendapat beberapa tokoh :
a.
Prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut Syariah RIBA berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi yang riil (Badr ad-dien
al-Ayni dalam kitab Umdatul Qari).
b.
Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh
syariat (Imam Sarakhsi dalam kitab al-Mabsut).
Riba dalam ayat qur’an berarti setiap penambahan yang
diambil tanpa adanya suatu iwadh yang dibenarkan syariah
(Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam al-Qur’an)
[1]Veithzal Rivai
dan Andi Buchari, Islamic Economi, (Jakarta,
PT Bumi Aksara, 2013) hlm. 342.
[2]Moh. Abdur
Rohman Wahid, “PERAN KAIDAH FIQH TERHADAP
PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAMI”Jurnal Ekonomi Islam ( Islamic Economics Journal ) Vol.4, No.2 Juli - Desember 2016,
hlm. 220.
[5] Muhammad Abdul
Mannan, Economic Development and Social
Peace in Islam (Bangladesh :
Bangladesh Social Peace Foundation,1989), hlm. 34.
[7] Monzer Kahf. Ekonomi
Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan Sistem Ekonomi Islam. Terj.
Machnul Husein (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm.
28.
[8] Khalifah
pertama Abu Bakar telah memerangi para pembangkang zakat sebagaimana beliau
telah memerangi para nabi palsu dan penyeru kemurtadan. Ia mempersiapkan untuk
memerangi mereka sebelas batalion, dan mengeluarkan pernyataan yang bersejarah :“Demi
Allah, seandainya mereka membangkang kepadaku untuk memberikan tali unta yang
pernah mereka berikan kepada Rasulullah saw, niscaya aku akan perangi mereka
karenanya”
Komentar
Posting Komentar