Konsep Maqashid Syariah dan Al Maslahah dalam Ekonomi Islam
A.
MAQOSHID SYARIAH DALAM EKONOMI ISLAM
PENGERTIAN
MAQOSHID SYARIAH
Dalam kamus bahasa Arab, maqshad
dan maqashid berasal dari kata qashd (قَصْدٌ).
Maqoshid (مَقَّا صِدْ) adalah kata yang
menunjukkan banyak (jama’), mufradnya adalah maqshad yang berarti tujuan atau
target.
Sedangkan menurut istilah, tercatat
hanya Imam ath-Thahir ibnu ‘Asyur dan al-‘Allamah ‘Illal al-Fasi yang
pertama-tama menjelaskan definisi Maqashid Syariah.
Menurut, Ibnu ‘Asyur, maqashid syariah adalah :
الْمَعَا نِى وَالْحِكَم الْمَلْحُوْ
ظَة لِلشَّارِيْعِ فِيْ جَمِيْعِ أَحْوَالِ التَّشْرِيْعِ أَوْ مُعْظَمِهَا
بِحَيْثُ لَا تَخْتَصُّ ملُاَ حَظَتُهَا بِا لكَوْنِ فِي نَوْعٍ خَا صٍ مِنْ
أَحْكاَمِ الشَّرِ يْعَةِ
“Makna
atau hikmah yang bersumber dari Allah SWT yang terjadi pada seluruh atau
mayoritas ketentuannya (bukan pada hukum tertentu).
Menurut
Al-fasi maqashid syariah adalah :
اَلْغَايَةُ
وَالأَ سْرَارَ الَّثِيْ وَضَعَهَا الشَّا رِعُ عِنْدَ كُلَّ حُكْمِ مِنْ أَخْكَا
مِهَا
“Tujuan
atau rahasia Allah SWT dalam suatu hubungan syariatnya”
Ar-Risuni
memberikan definisi maqashid syariah yang lebih jelas lagi yaitu :
الْغَابَا
الَّتِيْ وُضِعَتِ الشَّرِيْعَةُ لِأَجْلِ تَحْقِيْقِهَا لِمَصْلَحَةِ الْعِبَاد
“Tujuan
yang ingin dicapai oleh syariat ini untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.[1]
PENGERTIAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang berbasis Rabbani, Karena lahir dari rahim Aqidah
Rabbaniyah. Aqidah tauhid yang dengannya Allah telah memutus para Rasul-Nya dan
menurunkan kitab-kitab suci-Nya. Didalamnya antara lain berisikan penjabaran
Aqidah dalam bidang ekonomi agar manusia selalu merasa terikat dan mendapat
tuntunan sesuai dengan kehendak Tuhan (syariat). Inilah sebenarnya gambaran,
bagaimanakah sebenarnya peran Iman sebagai panglima dalam segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam masalah ekonomi. Tujuan pokoknya, tiada lain,
adalah untuk mencapai kesejahteraan, yaitu dunia maupun diakhirat bagi seluruh
manusia yang menaatinya.[2]
TUJUAN EKONOMI ISLAM BERDASARKAN MAQOSHID SYARIAH
Tujuan Ekonomi Islam, adalah untuk kesejahteraan di
dunia dan akhirat. Konsep kesejahteraan ini sangat komprehensif, yang mencakup
pada aspek spiritual, moral, dan kesejahteraan di dunia dan kesuksesan di
akhirat.
a)
Pada level mikro, falah mengacu kepada pemenuhan kebutuhan
dasar, kebebasna dalam bekerja untuk mendapatkan kesenangan spiritual dan
materi
b)
Pada level makro, terbentuknya stabilitas dan
kesejahteraan ekonomi dengan standrad kehidupan masyarakat dapat tercapai di
dunia dan akhirat.
c)
Turunan dari konsep falah adalah, distribusi
pendapatan yang merata, keadilan ekonomi, berkurangnya kemiskinan dan
terbukanya kesempatan kerja.[3]
MAQOSHID SYARIAH DALAM CSR
CSR adalah sesuatu yang
menunjukkan kegiatan perusahaan selain meningkatkan keutungan, seperti
melindungi lingkungan, memerhatikan kebutuhan karyawan, melakukan bisnis yang
beretika, dan terlibat dalam masyarakat setempat.
Implikasi dari maqashid dalam CSR
a)
Nilai maqasid syariah sendiri dalam CSR itu
terlihat pada ada nya pemerataan terhadap keuntungan yang di berikan oleh
perusahaan untuk kesejahteraan karyawan dan keluarganya, dan masyarakat
sekitarnya.
b)
Ini sebagai bukti bahwa, menghapus semua image
tentang kapitalisasi sebuah perusahaan. Ini juga di pandang dari kacamata islam
sebagai suatu bentuk pertangggung jawaban pada Allah SWT.
c)
Konsep Islam sendiri pada CSR adalah sebagai bukti
ketaqwaan kita pada Allah yang mana kita mempunyai kewajiban dalam bertanggung
jawab atas kelangsungan kehidupan manusia.[4]
Imam asy-Syatibi menjelaskan ada lima bentuk
maqashid Syariah atau yang biasa disebut lima prinsip umum. Ke 5 maqashid
Syariah tersebut yaitu :
a)
Hifdzu din
(melindungi agama), penyediaan
fasilitas ibadah, penyediaan waktu yang cukup untuk ibadah, aturan-aturan
perusahaan berbasisi nilai-nilai islam
b)
Hifdzu nafs
(melindungi jiwa), menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja
dilingkungan kerja, asuransi kesehatan.
c)
Hifdzu aql
(melindungi pikiran), bantuan
biaya pendidikan untuk keluarga pekerja dan masyarakat sekitar, pengembangan
skill pekerja dan mesyarakat melalui training.
e)
Hifdzu nasab
(melindungi keturunan), bantuan biaya pernikahan bagi para pekerja,
subsidi pembalian rumah.
Kelima Maqoshid tersebut
bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat mashlahat dan kepentingannya.
Tingkatan urgensi dan kepentingan tersebut ada 3 yaitu :
a)
Dharuriyat,
yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi yang jika tidak dipenuhi akan membuat
kehidupan menjadi rusak.[6]
1)
Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam
ilmu keagamaan, melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.
2)
Kebutuhan dalam menjaga jiwa, seperti sandang,
pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3)
Kebutuhan dalam menjaga keturunan, seperti
pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4)
Kebutuhan dalam menjaga akal, seperti pengeluaran
pendidikan
5)
Kebutuhan dalam menjaga harta, seperti pengeluaran
tabungan, investasi dan asuransi.[7]
b)
Hajiyat, yaitu untuk menghilangkan kesempitan dan
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contoh : pengeluaran zakat, infak dan sedekah
merupakan kebutuhan yang dapat meralisasikan aspek ritual (hifdz al-din).
c)
Tahsinat, yaitu pada tingkatan ini lebih difokuskan
kepada etika manusia dalam berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai islam.
Dalam
kehidupan manusia terdapat harta itu ada yang bersifat primer, ada yang
bersifat sekunder dan ada juga yang bersifat pelengkap. Begitu pula hajat dan
kebutuhan lainnya itu berbeda-beda tingkat kepentingannya.
Setiap perilaku yang bertujuan untuk mmenuhi kelima
hajat itu adalah mashlahat dan sebaliknya setiap perilaku yang menghilangkan
kelima hajat tersebut itu adalah mafsadat.[8]
IMPLIKASI MAQASHID SYARIAH DALAM ASPEK BISNIS ISLAM
1)
Setiap Kesepakatan Harus Jelas
Setiap kesepakatan bisnis harus jelas
diketahui oleh para pihak akad agar tidak menimbulkan perselisihan di antara
mereka. Untuk mencapai target ini, syariat islam memberlakukan ketentuan
tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah seperti ketentuan bahwa setiap
transaksi harus tercatat(kitabah) disaksikan (ishyad) dan boleh bergaransi.
Dan yang terpenting dalam transaksi adalah
sesuai dengan prinsip perdagangan yang harus didasarkan atas asar suka sama
suka (kerelaan).
Prinsip ini memiliki implikasi yang luas
karena perdagangan melibatkan lebih dari satu pihak, sehingga kegiatan jual
beli harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan.
2)
Setiap Kesepakatan Bisnis Harus Adil
Ibnu ‘asyur mejelaskan bahwa adil dalam bisnis
adalah bagaimana berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang
tidak mendzalimi orang lain, baik dengan cara komersil atau non komersil.
Di antara prinsip adil yang diberlakukan dalam
bisnis adalah kewajiban pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya,
seperti menginvestasikannya dengan cara-cara yang baik dan profesional,
menyalurkan harta secara halal dan menunaikan kewajiban hak hartanya.
3)
Komitmen dengan Kesepakatan
Seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah
ayat 1 bahwa Allah SWT mewajibkan akan kita untuk memenuhi setiap kesepakatan
dalam akad, termasuk dalam akad-akad bisnis. Karena setiap akad berisi hak dan
kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil
ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan akad.[9]
B.
AL MASLAHAH DALAM EKONOMI ISLAM
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami
kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional maupun di Indonesia.
Lembaga-lembaga itu antara lain asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage,
leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM (Multi
Level Marketing), dsb.
Loncatan kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak
besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi bisnis,
seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan
pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, perdagangan international / ekspor
impor dengan media L/C, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter, exchange
rate, waqf saham, jaminan fiducia (rahn tasjiliy) dalam pembiayaan,
jaminan resi gudang, dsb.
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa
serta produk keuangan adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai
prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam
syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada posisi
kedua, yaitu sesudah prinsip tawhid(Agustiano, 2010). Mashlahah adalah
tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para
ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan
kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah
ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat
tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam
ekonomi Islam.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup
yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya
bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi
Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni
(ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali
ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain
halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan
kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu
prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting.
Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Shadr
dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang
kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang
terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar
untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip maslahah.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran
manusia melalui ijtihad. Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang
dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik
riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman klasik, bisa menemukan dengan
pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi
sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah
iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin
diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan
syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial,politik, dan
ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan
muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan
semata-mata profit motive dan material rentabilitysebagaimana
dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan
dan kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah didasarkan
kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom
muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati
dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka di
situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung
kemaslahatan, maka di itulah syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah
adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.[10]
PENGERTIAN AL
MASLAHAH
Maslahah
ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli ushul, kemashlahatan yang tidak di
syariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum di dalam rangka menciptakan
kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan.
Karena al mashlahah itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang
menyatakan benar atau salah.[11]
IMPLIKASI MAQOSHID
SYARIAH TERHADAP TEORI PERILAKU EKONOMI
1.
Problem Ekonomi
Biasanya dikaitkan dengan tiga
pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk
siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya
keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya
yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi
konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di
atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan
problem ekonomi manusia.[12]
Dalam
perspektif Syariah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus
terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga
kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan
pada maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di
dunia dan akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut
dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan dan bukan memuaskan
keinginanan merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan
kewajiban agama. Oleh karena memenuhi kebutuhan merupakan kewajiban agama,
maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk
melakukan pembangunan ekonomi.
Mengapa
seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas
ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah,
merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan
akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia
tadi disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi
kebutuhan (meeting/fulfilling needs) dan bukan memuaskan keinginanan
(satisfying wants) merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus
merupakan kewajiban agama. Oleh karena fulfilling needs merupakan
kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa”
bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan
ekonomi.Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi problem ekonomi
adalah, bagaimana individu memenuhi kebutuhannya (fulfilling needs),
karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber daya yang
tersedia menjadi terbatas.[13]
2.
Wants versus Needs
Ilmu
ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena
keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan.
Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya.
Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam
secara membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.[14]
Pada sisi
yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala
keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan bukanlah spirit dalam perilaku
konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma yang disokong
oleh peradaban yang materialistik. Sebagai gantinya Ekonomi Islam memerintahkan
individu untuk memenuhi kebutuhannya sebagaimana yang dikehendaki oleh syariah. Kebutuhan memang muncul
dari keinginan naluriah, namun dalam framework Islam tidak
semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang
mengandung maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan.[15]
3.
Maslahah
versus Utility
a)
Perilaku Konsumen
dalam Teori Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah.
Menurut Imam Shatibi istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah
merupakan tujuan hukum syara yang paling utama.
Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung
elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Khan dan
Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni:
AGAMA, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal),
keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan
(al-nasl). Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan
unsur-unsur keberkahan.
Mencukupi kebutuhan dan bukan
memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan
usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Bagi para ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep
utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah
mungkin akan menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut
tidak membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas.[16]
b)
Perilaku
Konsumen dalam Teori Ekonomi Konvensional
Teori
ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk
menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia. Kepuasan
hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan
tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua
aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada
semangat utilitas. Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat
mengembangkan dan menopang maslahah sajalah
yang dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah
[1] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis &
Keuangan Syariah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada. Hlm. 1-3
[3] Noname. “Pengertian Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/
[4] Noname. “Pengertian Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/
[5] Dr. Ani Sahroni,
M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 4-5
[6] Dr. Ani Sahroni,
M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm 5
[7] Noname. “Pengertian
Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada
tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/
[8] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm
5-6
[9] Noname. “Implikasi Maqashid Syariah Dalam Aspek Bisnis Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. http://www.depokpos.com/arsip/2017/05/implikasi-maqashid-syariah-dalam-aspek-bisnis-islam/
[10] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah
sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer
2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html
[12] Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Akram Khan. An Introduction to Islamic Economics (Pakistan: IIIT and Institute of Policy Studies, 1994). Hlm. 15
[13] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah
sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer
2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html
[14] Mustafa Edwin Nasution. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam . Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Hlm
69-70.
[15] Muhammad Najetullah Siddiqi.1992. Islamic Consumer Behaviour, dalam
Sayyid Tahir et. all (eds.), Reading in Microeconomics: An Islamic
Perspective. Malaysia: Longman Malaysia. Hlm. 55
[16] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah
sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer
2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html
Komentar
Posting Komentar