Konsep Maqashid Syariah dan Al Maslahah dalam Ekonomi Islam

A.      MAQOSHID SYARIAH DALAM EKONOMI ISLAM
PENGERTIAN MAQOSHID SYARIAH
Dalam kamus bahasa Arab, maqshad dan maqashid berasal dari kata qashd (قَصْدٌ). Maqoshid (مَقَّا صِدْ) adalah kata yang menunjukkan banyak (jama’), mufradnya adalah maqshad yang berarti tujuan atau target.
Sedangkan menurut istilah, tercatat hanya Imam ath-Thahir ibnu ‘Asyur dan al-‘Allamah ‘Illal al-Fasi yang pertama-tama menjelaskan definisi Maqashid Syariah.
Menurut, Ibnu ‘Asyur, maqashid syariah adalah :
الْمَعَا نِى وَالْحِكَم الْمَلْحُوْ ظَة لِلشَّارِيْعِ فِيْ جَمِيْعِ أَحْوَالِ التَّشْرِيْعِ أَوْ مُعْظَمِهَا بِحَيْثُ لَا تَخْتَصُّ ملُاَ حَظَتُهَا بِا لكَوْنِ فِي نَوْعٍ خَا صٍ مِنْ أَحْكاَمِ الشَّرِ يْعَةِ
“Makna atau hikmah yang bersumber dari Allah SWT yang terjadi pada seluruh atau mayoritas ketentuannya (bukan pada hukum tertentu).
Menurut Al-fasi maqashid syariah adalah :
اَلْغَايَةُ وَالأَ سْرَارَ الَّثِيْ وَضَعَهَا الشَّا رِعُ عِنْدَ كُلَّ حُكْمِ مِنْ أَخْكَا مِهَا
“Tujuan atau rahasia Allah SWT dalam suatu hubungan syariatnya”
Ar-Risuni memberikan definisi maqashid syariah yang lebih jelas lagi yaitu :
الْغَابَا الَّتِيْ وُضِعَتِ الشَّرِيْعَةُ لِأَجْلِ تَحْقِيْقِهَا لِمَصْلَحَةِ الْعِبَاد
“Tujuan yang ingin dicapai oleh syariat ini untuk merealisasikan kemaslahatan hamba”.[1]

PENGERTIAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berbasis Rabbani, Karena lahir dari rahim Aqidah Rabbaniyah. Aqidah tauhid yang dengannya Allah telah memutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab suci-Nya. Didalamnya antara lain berisikan penjabaran Aqidah dalam bidang ekonomi agar manusia selalu merasa terikat dan mendapat tuntunan sesuai dengan kehendak Tuhan (syariat). Inilah sebenarnya gambaran, bagaimanakah sebenarnya peran Iman sebagai panglima dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam masalah ekonomi. Tujuan pokoknya, tiada lain, adalah untuk mencapai kesejahteraan, yaitu dunia maupun diakhirat bagi seluruh manusia yang menaatinya.[2]
TUJUAN EKONOMI ISLAM BERDASARKAN MAQOSHID SYARIAH
Tujuan Ekonomi Islam, adalah untuk kesejahteraan di dunia dan akhirat. Konsep kesejahteraan ini sangat komprehensif, yang mencakup pada aspek spiritual, moral, dan kesejahteraan di dunia dan kesuksesan di akhirat.
a)         Pada level mikro, falah mengacu kepada pemenuhan kebutuhan dasar, kebebasna dalam bekerja untuk mendapatkan kesenangan spiritual dan materi
b)        Pada level makro, terbentuknya stabilitas dan kesejahteraan ekonomi dengan standrad kehidupan masyarakat dapat tercapai di dunia dan akhirat.
c)         Turunan dari konsep falah adalah, distribusi pendapatan yang merata, keadilan ekonomi, berkurangnya kemiskinan dan terbukanya kesempatan kerja.[3]


MAQOSHID SYARIAH DALAM CSR
CSR adalah sesuatu yang menunjukkan kegiatan perusahaan selain meningkatkan keutungan, seperti melindungi lingkungan, memerhatikan kebutuhan karyawan, melakukan bisnis yang beretika, dan terlibat dalam masyarakat setempat.
Implikasi dari maqashid dalam CSR
a)         Nilai maqasid syariah sendiri dalam CSR itu terlihat pada ada nya pemerataan terhadap keuntungan yang di berikan oleh perusahaan untuk kesejahteraan karyawan dan keluarganya, dan masyarakat sekitarnya.
b)        Ini sebagai bukti bahwa, menghapus semua image tentang kapitalisasi sebuah perusahaan. Ini juga di pandang dari kacamata islam sebagai suatu bentuk pertangggung jawaban pada Allah SWT.
c)         Konsep Islam sendiri pada CSR adalah sebagai bukti ketaqwaan kita pada Allah yang mana kita mempunyai kewajiban dalam bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan manusia.[4]
Imam asy-Syatibi menjelaskan ada lima bentuk maqashid Syariah atau yang biasa disebut lima prinsip umum. Ke 5 maqashid Syariah tersebut yaitu :
a)         Hifdzu din (melindungi agama), penyediaan fasilitas ibadah, penyediaan waktu yang cukup untuk ibadah, aturan-aturan perusahaan berbasisi nilai-nilai islam
b)        Hifdzu nafs (melindungi jiwa), menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dilingkungan kerja, asuransi kesehatan.
c)         Hifdzu aql (melindungi pikiran), bantuan biaya pendidikan untuk keluarga pekerja dan masyarakat sekitar, pengembangan skill pekerja dan mesyarakat melalui training.
d)        Hifdzu mal (melindungi harta), gaji yang adil, biaya pensiun.[5]
e)         Hifdzu nasab (melindungi keturunan), bantuan biaya pernikahan bagi para pekerja, subsidi pembalian rumah.
Kelima Maqoshid tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkat mashlahat dan kepentingannya. Tingkatan urgensi dan kepentingan tersebut ada 3 yaitu :
a)         Dharuriyat, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi yang jika tidak dipenuhi akan membuat kehidupan menjadi rusak.[6]
1)        Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu keagamaan, melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya.
2)        Kebutuhan dalam menjaga jiwa, seperti sandang, pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3)        Kebutuhan dalam menjaga keturunan, seperti pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4)        Kebutuhan dalam menjaga akal, seperti pengeluaran pendidikan
5)        Kebutuhan dalam menjaga harta, seperti pengeluaran tabungan, investasi dan asuransi.[7]
b)        Hajiyat, yaitu untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contoh : pengeluaran zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat meralisasikan aspek ritual (hifdz al-din).
c)         Tahsinat, yaitu pada tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai islam.
Dalam kehidupan manusia terdapat harta itu ada yang bersifat primer, ada yang bersifat sekunder dan ada juga yang bersifat pelengkap. Begitu pula hajat dan kebutuhan lainnya itu berbeda-beda tingkat kepentingannya.
Setiap perilaku yang bertujuan untuk mmenuhi kelima hajat itu adalah mashlahat dan sebaliknya setiap perilaku yang menghilangkan kelima hajat tersebut itu adalah mafsadat.[8]
IMPLIKASI MAQASHID SYARIAH DALAM ASPEK BISNIS ISLAM
1)        Setiap Kesepakatan Harus Jelas
Setiap kesepakatan bisnis harus jelas diketahui oleh para pihak akad agar tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Untuk mencapai target ini, syariat islam memberlakukan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah seperti ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat(kitabah) disaksikan (ishyad) dan boleh bergaransi.
Dan yang terpenting dalam transaksi adalah sesuai dengan prinsip perdagangan yang harus didasarkan atas asar suka sama suka (kerelaan).
Prinsip ini memiliki implikasi yang luas karena perdagangan melibatkan lebih dari satu pihak, sehingga kegiatan jual beli harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan.
2)      Setiap Kesepakatan Bisnis Harus Adil
Ibnu ‘asyur mejelaskan bahwa adil dalam bisnis adalah bagaimana berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang tidak mendzalimi orang lain, baik dengan cara komersil atau non komersil.
Di antara prinsip adil yang diberlakukan dalam bisnis adalah kewajiban pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya, seperti menginvestasikannya dengan cara-cara yang baik dan profesional, menyalurkan harta secara halal dan menunaikan kewajiban hak hartanya.
3)      Komitmen dengan Kesepakatan
Seperti yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 1 bahwa Allah SWT mewajibkan akan kita untuk memenuhi setiap kesepakatan dalam akad, termasuk dalam akad-akad bisnis. Karena setiap akad berisi hak dan kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan akad.[9]

B.       AL MASLAHAH DALAM EKONOMI ISLAM
Perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu antara lain  asuransi, sukuk, pegadaian, mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM (Multi Level Marketing), dsb.
Loncatan kemajuan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, khususnya terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, perdagangan international / ekspor impor dengan media L/C, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter, exchange rate, waqf saham, jaminan fiducia (rahn tasjiliy)  dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb.
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk keuangan  adalah maslahah. Penempatan maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip  tawhid(Agustiano, 2010). Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi Islam.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Shadr dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan prinsip  maslahah.
Kemaslahatan dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui ijtihad. Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik riba. Para filosof Yunani yang hidup di zaman klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial,politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentabilitysebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi  yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Jadi , untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka  di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah  syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.[10]

PENGERTIAN AL MASLAHAH
Maslahah ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli ushul, kemashlahatan yang tidak di syariatkan oleh syari’ dalam wujud hukum di dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karena al mashlahah itu disebut mutlak, lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.[11]

IMPLIKASI MAQOSHID SYARIAH TERHADAP TEORI PERILAKU EKONOMI
1.         Problem Ekonomi
Biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas. Namun demikian teori-teori dalam ekonomi konvensional tidak mampu untuk memberi jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas. Akibatnya, teori-teori tersebut tidak dapat secara spesifik menjelaskan problem ekonomi manusia.[12]
Dalam perspektif Syariah, alasan mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan dan bukan memuaskan keinginanan merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama. Oleh karena memenuhi kebutuhan merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.
Mengapa seseorang berproduksi dan mengapa harus terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagai upaya untuk menjaga kemaslahatan. Aktivitas ekonomi, baik itu produksi dan konsumsi yang didasarkan pada maslahah, merupakan representasi proses meraih sesuatu yang lebih baik di dunia dan akhirat. Segala tindakan ekonomi yang mengandung maslahah bagi manusia tadi disebut dengan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan (meeting/fulfilling needs) dan bukan memuaskan keinginanan (satisfying wants) merupakan tujuan dalam aktivitas ekonomi yang sekaligus merupakan kewajiban agama. Oleh karena fulfilling needs merupakan kewajiban agama, maka Ekonomi Islam juga menjadi sebuah “kekuatan pemaksa” bagi masyarakat yang tidak mempunyai keinginan untuk melakukan pembangunan ekonomi.Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi problem ekonomi adalah, bagaimana individu memenuhi kebutuhannya (fulfilling needs), karena terkadang pada kondisi, waktu dan lokasi tertentu sumber daya yang tersedia menjadi terbatas.[13]

2.         Wants versus Needs
Ilmu ekonomi konvensional tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan, karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yaitu kelangkaan. Mereka berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan, demikian pula sebaliknya. Padahal konsekuensi dari hal ini adalah terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi-buta dan merusak keseimbangan ekologi.[14]
Pada sisi yang lain, Ekonomi Islam justru tidak memerintahkan manusia untuk meraih segala keinginan dan hasratnya. Memaksimalkan kepuasan bukanlah spirit dalam perilaku konsumsi Ekonomi Islam, karena hal tersebut adalah norma-norma yang disokong oleh peradaban yang materialistik. Sebagai gantinya Ekonomi Islam memerintahkan individu untuk memenuhi kebutuhannya sebagaimana yang dikehendaki oleh syariah. Kebutuhan memang muncul dari keinginan naluriah, namun dalam framework Islam tidak semua keinginan naluriah itu bisa menjadi kebutuhan. Hanya keinginan yang mengandung maslahah saja yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan.[15]
3.         Maslahah versus Utility
a)        Perilaku Konsumen dalam Teori Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah. Menurut Imam Shatibi  istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara yang paling utama.
Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).  Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: AGAMA, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al-mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsur-unsur keberkahan.
Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Bagi para ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas.[16]
b)        Perilaku Konsumen dalam Teori Ekonomi Konvensional
Teori ekonomi konvensional menjelaskan utilitas sebagai upaya untuk menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia. Kepuasan hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas. Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahah sajalah yang dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah


[1] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 1-3
[2] Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag. 2010. Teologi Ekonomi. Malang : UIN-Maliki Press

[3] Noname. “Pengertian Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/


[4] Noname. “Pengertian Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/

[5] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 4-5
[6] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada. Hlm 5
[7] Noname. “Pengertian Maqashid Syariah & Contohnya pada Tujuan Hukum Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. https://muamalatku.com/maqashid-syariah/
[8] Dr. Ani Sahroni, M.A. 2015. Maqashid Bisnis & Keuangan Syariah. Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada. Hlm 5-6

[9] Noname. “Implikasi Maqashid Syariah Dalam Aspek Bisnis Islam”. Diakses pada tanggal 28 September 2018. http://www.depokpos.com/arsip/2017/05/implikasi-maqashid-syariah-dalam-aspek-bisnis-islam/

[10] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer 2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html
[11] Miftahul Arifin dan Faishal Hag (1997) Op. Cit. hlm. 142
[12] Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Akram Khan. An Introduction to Islamic Economics (Pakistan: IIIT and Institute of Policy Studies, 1994). Hlm. 15
[13] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer 2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html
[14] Mustafa Edwin Nasution. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam . Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 69-70.
[15] Muhammad Najetullah Siddiqi.1992. Islamic Consumer Behaviour, dalam Sayyid Tahir et. all (eds.), Reading in Microeconomics: An Islamic Perspective. Malaysia: Longman Malaysia. Hlm. 55
[16] Syasa Bethan. “Makalah Maqoshid Syariah : Mashlahah sebagai Metode Pengembangan Ekonomi Islam”. Diakses pada tanggal 29 Septemer 2018. http://maqash.blogspot.com/2014/01/makala-maqhosid-syariah-maslahah.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Instrumen Keuangan, Kas, Piutang Dan Persediaan

Makalah Investasi Sebagai Instrumen Ekuitas Dan Hutang

Makalah Liabilitas Jangka Pendek dan Liabilitas jangka panjang