Dasar Dasar Ekonomi Islam

A.   Ekonomi Islam
Apa itu ekonomi islam ? Ekonomi Islam yaitu mazhab ekonomi Islam yang di dalamnya terjelma cara Islam mengatur kehidupan perekonomian. Ekonomi Islam juga merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa Ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Alquran dan As-Sunnah yang merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar- dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya.
Bekerja merupakan suatu kewajiban kerana Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
 Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu.”[1]
Setelah kita mengetahui pengertian ekonomi islam, kita akan membahas tentang apasajakah tujuan ekonomi islam?
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha (Ahli Fiqih ) asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1.   Penyucian jiwa agar setiap muslim boleh menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2.   Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakupi aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3.   Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahawa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakupi lima jaminan dasar:
·                Keselamatan keyakinan agama ( al din)
·                Kesalamatan jiwa (al nafs)
·                Keselamatan akal (al aql)
·                Keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
·                Keselamatan harta benda (al mal).
Jadi, dapat di simpulkan bahwa tujuan dari ekonomi islam yaitu membantu manusia mengatur kehidupan perekonomiannya dengan berdasarkan ekonomi islam untuk mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.[2]

B.   Dasar-Dasar Ekonomi Islam
   Muhammad Syauqi al-Fanjari merumuskan pengertian ekonomi Islam dengan rumusan yang sederhana. Ekonomi Islam adalah aktivitas ekonomi yang diatur  sesuai dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dari rumusan ini, ia menyimpulkan bahwa ekonomi Islam itu mempunyai dua bagian, yaitu : pertama bagian yang tetap (tsabit) yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan dasar ekonomi Islam yang dibawa oleh nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah yang harus dipedomani oleh setiap kaum muslimin di setiap tempat dan zaman. Yang termasuk bagian ini adalah :
a.       Dasar bahwa harta benda itu milik Allah dan manusia diserahi tugas untuk mengelolanya tercantum dalam  (QS An-Najm :31)
وَلِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٣١
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi.
b.      Dasar bahwa jaminan setiap individu di dalam masyarakat diberikan dalam batas kecukupan seperti yang tercantum dalam (QS Al-Ma’aarij : 24-25).
 وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ ٢٤ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ٢٥
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (orang yang tidak mau meminta).
c.       Dasar bahwa keadilan sosial dan pemeliharaan keseimbangan ekonomi diwujudkan untuk semua individu dan masyarakat Islam tercantum dalam (QS Al-Hasyr : 7).
كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ٧
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara kamu.
d.      Dasar bahwa milik pribadi dihormati. (QS An-Nisaa’ : 32)
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡ‍َٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦ ٣٢
Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
e.       Dasar bahwa kebebasan ekonomi terbatas, disebabkan haramnya beberapa aktivitas ekonomi yang mengandung pemerasan, monopoli atau riba. (QS An-Nisaa’ : 29)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil kecuali atasa dasar suka sama suka di antara kamu.
f.       Dasar bahwa pengembangan ekonomi itu bersifat menyeluruh (QS Al-Jumu’ah : 10).
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.[3]


C.   Landasan Hukum Ekonomi Islam
1.     Al-Qur’an
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Kekuatan hujjah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum syariah termasuk di dalamnya syariah perekonomian terkandung dalam ayat Al-Qur’an yang memerintahkan umat manusia mematuhi Allah SWT. hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam Al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa pun yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an.
2.    As-Sunah
Dasar hukum hadits atau sunah sebagai rujukan setiap persoalan termasuk bidang  manajemen setelah Al-Qur’an adalah surat Al-Hasyr ayat 7 : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah”.
Abdul Manan (1993) menegaskan bahwa kini tiba saatnya untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hadits tidak semata-mata dalam bentuk harfiah, tetapi juga dalam jiwanya. Penafsiran hadits dan sunnah harus memperhatikan perspektif sejarah, oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang berkembang dengan cepat, penafsiran kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah harus menjadi tuntutan bagi pemahaman dan tidak untuk formalisme semata.
3.    Ijma’
Ijma’ adalah sumber ketiga hukum islam – merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun para cendikiawan agama. Perbedaan konseptual antara Sunnah dan Ijma’ terletak pada kenyataan bahwa Sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran – ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya, sedangkan Ijma’ adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul sebagai akibat dalam melakukan penelaran dan logikanya menghadapi suatu masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya dengan masyarakat Islam dini, yang bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada generasi – generasi berikutnya.[4]

D.   Dasar Filosofi Ekonomi Islam
Islam merupakan agama yang universal yang mudah dimengerti dan dirasionalkan. Islam sangat didasari oleh tiga pilar utama yaitu : Tauhid (unity), Khilafah (vicegerency) dan ‘Adalah (justice). Prinsip itu tidak saja menjadi bingkai bagi pandangan dunia Islam, tapi juga merupakan pilar utama dari strategi dan maqasid syari’ah (tujuan syari’ah). Karenanya, pilar-pilar baik maqasid, pandangan dunia Islam (Islamic worldview) dan juga strategi berada pada posisi harmoni.
1.         Tauhid (Divine Unity)
Tauhid (keesaan Allah SWT) merupakan fondasi yang sangat mendasar dari agama Islam. Konsep ini melandasi seluruh strategi dan pandangan Islam. Segalanya memancar dari konsep Tauhid. Ini berarti alam semesta secara sengaja diciptakan oleh penguasa dunia yang sifatnya esa dan karenanya penciptaan ini bukan tercipta dengan sendirinya. Di antara bukti keesaan Allah SWT seperti yang tergambarkan pada ayat “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”. Seperti juga yang terdapat pada surat Shad ayat 27 “dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa di antara keduanya tanpa hikmah, yang demikian itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.
Dengan demikian dunia dan seluruh isinya adalah milik Allah di mana seluruh harta dan kekayaan, kepemilikan, sumber-sumber alam adalah milik Allah secara mutlak. Oleh karena itu, seluruh manusia harus beraktivitas dalam mengupayakan sumber-sumber kekayaan ini sesuai dengan kehendak Ilahi. Jadi berbeda dengan kapitalisme dan marxisme di mana hak kepemilikan itu ada pada individu dan ploretariat. Oleh karena itu, hak kepemilikan di dalam sistem ekonomi Islam tidak mutlak tapi terbatas. Manusia hanya diberi hak sebagai khalifah (pengusaha) untuk mengoptimalkan sumber itu dan harus mampu mempertanggungjawabkan usahanya.

2.       Khalifah
Manusia adalah khalifah di muka bumi yang berusaha untuk mengoptimalkan pendayagunaan seluruh isi alam. Dalam bingkai khilafah, dia bisa bebas untuk berfikir, berbuat, memilih mana yang hak dan batil, adil dan tidak, merubah hidupnya namun jika ia salah memilih dan berbuat, maka ia tercampak dari bingkai tersebut.
Kekayaan alam ini sebenarnya mencukupi seluruh kebutuhan manusia jika ia digunakan secara efisien dan adil sehingga tidak wujud kelangkaan dalam kewujudan (scarcity in existence) karena Allah Swt telah menyediakan sumber kekayaan alam secukupnya. Namun kelangkaan itu lebih terletak pada keterbatasan manusia di dalam memanfaatkan ilmu serta wujudnya ketidakadilan di dalam distribusi (scarcity in availabilty). Sebagai contoh, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang di Arab Saudi tidak mengetahui bahwa dalam buminya terdapat kekayaan minyak. Namun setelah ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi semakin maju maka kekayaan itu baru bisa dinikmati.
Konsep khalifah mempunyai beberapa implikasi dalam sistem ekonomi Islam di antaranya : pertama, persaudaraan yang universal. Dalam hal ini khalifah memiliki makna persatuan dan persaudaraan manusia. Manusia semua sama, baik hitam, putih, tinggi, pendek, dan sebagainya. Kriteria yang bernilai dari mereka bukannya sukunya, bangsanya tapi karakternya (akhlaknya). Karenanya diperlukan pengorbanan dan kerja sama dan bukannya “the survival of the fittest” atau teori hukum rimba.
Kedua,kekayaan adalah amanah. Karena seluruh sumber-sumber kehidupan telah diberikan oleh Allah, maka manusia sebagai khalifah bukanlah pemilik tunggal, tapi dia hanya manusia yang diberikan kepercayaan untuk mengolahnya. Sedangkan pilar yang ketiga adalah muslim percaya adanya hari hisab (the day of judgment). Hal ini membawa implikasi yang cukup besar di dalam aktivitas perekonomian dan tingkah laku manusia. Ketika ia ingin melakukan sesuatu (dalam transaksi, konsumsi, produksi, distribusi atau mengaplikasikan kebijaksanaan moneter, fiskal dan lainnya) maka tindakannya itu mempunyai dampak yang harus diterimanya pada hari hisab.

3.      ‘Adalah (Keadilan)
Konsep kekeluargaan (brotherhood) yang merupakan gabungan dari konsep tauhid dan khilafah tidak akan berarti jika tidak diikuti oleh keadilan social ekonomi. Keadilan merupakan kunci bagi maqasid syariah dan tidak ada wujud satu masyarakat Islami jika masih belum ditegakkan keadilan. Karenanya islam menolak segala kezaliman seperti ketidakadilan, eksploitasi, tekanan, prilaku salah sehingga menjadikan seseorang itu tidak memenuhi tugasnya kepada mereka. Lebih dari itu, keadilan merupakan misi utama dari diutusnya nabi (Q.S Al-Hadid :25). Bahkan islam telah meletakkan keadilan iru dekat dengan takwa (Q.S Al-Maidah : 8).
Keadilan dalam mengupayakan dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam ini demi untuk merealisasikan tujuan syariah (maqasid syari’ah) di antaranya melalui :
a.       Penjaminan terhadap kebutuhan dasar. Pertama Negara wajib menjamin kebutuhan dasar dari penduduknya, bahkan dalam hadis, kata Nabi Saw, “bukanlah yang beriman tidur dengan kekenyangan manakala tetangganya kelaparan”. Oleh karena ini merupakan tanggungjawab bersama (fardu kifayah).
b.      Mendapatkan sumber kehidupan dengan cara yang terhormat. ‘Adalah merupakan  fard’ain bagi setiap individu untuk mencari sumber kehidupan. Dan jika terdapat anggota masyarakat yang cacat atau tak mampu mencari sumber kehidupan itu, maka masyarakat harus ikut membantu, baik melalui penyaluran zakat ataupun shadaqah dan wakaf.
c.       Distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil. Jurang kekayaan yang begitu menyolok sangat tidak diinginkan. Jurang itu hanya dibenarkan jika ia berlaku disebabkan wujudnya kepakaran, inisiatif, usaha dan resiko. Artinya suatu hal yang wajar ketika sebagian kelompok manusia telah meletakkan kepakaran, modal dan inisiatif usaha serta berhadapan dengan berbagai resiko mendapatkan pendapatan yang lebih besar yang pada akhirnya menciptakan perbedaan pada sisi jumlah harta dan kekayaan dibandingkan dengan sekelompok masyarakat lainnya. Hal seperti ini bukanlah suatu ketidakadilan.
d.      Pertumbuhan dan stabilitas. Diperlukan efisiensi yang cukup maksimum sehingga mampu memicu pertumbuhan ekonomi sehingga mampu menolong golongan yang lemah dengan bertambahnya sumber kekayaan yang tentunya didistribusikan dengan adil. Stabilitas pula mampu menolong mengurangi penderitaan akibat dari resesi, inflasi dan meroketnya harga atau nilai tukar mata uang. Karenanya tingginya tingkat tingkat pertumbuhan ekonomi dan minimnya ketidakstabilan adalah sangat penting untuk mengisi keberadaan khilafah dan ‘adalah


[1] Rusdiyanto Rasyid, “Dasar-Dasar Ekonomi Islam”, http://konsultasi-hukum-online.com/2013/06/dasar-dasar-ekonomi-islam/, diakses pada Minggu, 2 September 2018 pukul 14.30
[2] Rusdiyanto Rasyid, “Dasar-Dasar Ekonomi Islam”, http://konsultasi-hukum-online.com/2013/06/dasar-dasar-ekonomi-islam/, diakses pada Minggu, 2 September 2018 pukul 14.30

[3] Reza Mulyani, “Dasar-Dasar Landasan Ekonomi Islam”, http://rezamulyani.blogspot.com/2015/10/ekonomi-islam-dasar-dasar-landasan.html, diakses pada Minggu, 2 September 2018, pada pukul 14.30
[4] Reza Mulyani, “Dasar-Dasar Landasan Ekonomi Islam”, http://rezamulyani.blogspot.com/2015/10/ekonomi-islam-dasar-dasar-landasan.html, diakses pada Minggu, 2 September 2018, pada pukul 14.30

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Instrumen Keuangan, Kas, Piutang Dan Persediaan

Makalah Investasi Sebagai Instrumen Ekuitas Dan Hutang

Makalah Liabilitas Jangka Pendek dan Liabilitas jangka panjang