makalah lengkap BIAYA PEROLEHAN HAK DAN BANGUNAN
A.Pendahuluan
Sesuai dengan
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang
merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar
untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi
pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)[1].
Prinsip yang
dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah :
1.
Pemenuhan
kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu Wajib
Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2.
Besarnya
tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP).
3.
Agar
pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, baik kepada Wajib
Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umun yang melanggar ketentuan atau tidak
melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.
Hasil
penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan
kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai
pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
5.
Semua
pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di luar
ketentuan ini tidak diperkenankan.
Sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tanggal 15 September 2009
tentang Pajak Daerah, wewenang untuk memungut BPHTB diserahkan ke pemerintah
kabupaten/kota. Penyerahan pengelolaan BPHTB kepada pemerintah kabupaten/kota
mulai 1 Januari 2011.
B.
Pengertian-Pengertian
Dalam
pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, akan dijumpai beberapa
pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut, antara lain :
1.
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam
pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak[2].
2.
Perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan,
Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
3.
Hak
atas tanah dan atau bangunan,
Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak perolehan
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang
pertanahan dan bangunan.
Untuk
pengertian atau istilah-istilah selain tersebut di atas, akan dikaitkan
langsung dengan pembahasan selanjutnya.
C.
Dasar Hukum
Dasar hukum Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
1.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini
menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291.
2.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah.
D.
Objek Pajak
Objek BPHTB
adalah perolehan ha katas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan
bagunan meliputi[3]:
1. Pemindahan hak karena:
a.
Jual-beli
b.
Tukar-menukar
c.
Hibah
d.
Hibah
wasiat
e.
Waris
f.
Pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g.
Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan
h.
Penunjukan
pembeli dalam lelang
i.
Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j.
Penggabungan
usaha
k.
Peleburan
usaha
l.
Pemekaran
usaha
m.
Hadiah
2. Pemberian hak baru karena:
a.
Kelanjutan
pelepasan hak
b.
Diluar
pelepasan hak
E.
Tidak Termasuk Objek Pajak
objek pajak
yang tidak dikenakan BPTHB adalah objek pajak yang diperoleh:
1. Konsulat berdasarkan asa perlakuan timbal
balik.
2. Negara untuk
penyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan
umum.
3. Badan atau
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain
diluar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
4. Orang
pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama
5. Orang
pribadi atau badan karena wakaf
6. orang
pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah
F.
Subjek Pajak Dan Wajib Pajak
Subjek pajak
PBHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atau tanah dan atau
bangunan. Wajib pajak PBHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan bangunan.
G.
Dasar Pengenaan Pajak
Yang menjadi
dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP
ditentukan sebesar:
1.
Harga
transaksi, dalam hal jual-beli
2.
Nilai
pasar objek pajak dalam hal:
a.
Tukar-menukar
b.
Hibah
c.
Hibah
wasiat
d.
Waris
e.
Pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya
f.
Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan hak
g.
Peralihan
hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
h.
Pemberian
hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
i.
Pemberian
hak baru atas tanah diluar pelepasan hak
j.
Penggabungan
usaha
k.
Peleburan
usaha
l.
Pemekaran
usaha
m.
Hadiah
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah
Lelang, dalam hal penunjukan pembeli dalam lelang
4. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP
PBB), apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak
diketahui.
Contoh:
Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan
dengan NPOP (harga transaksi) Rp100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang
digunakan dalam pengenaan PBB adalah Rp120.000.000,00, maka yang dikenakan
sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah Rp120.000.000,00 dan bukan
Rp100.000.000,00
H.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (Npoptkp)
Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara
regional paling rendah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)[4],
kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan secara regional paling rendah Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Besarnya NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
I.
Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan
sebesar paling tinggi 5% (lima persen). Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Menghitung BPHTB
BPHTB = (NPOP-NPOPTKP) x tarif pajak
Contoh :
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di kabupaten/kota tersebut
Rp60.000.000,00 dan tarif pajaknya 5%.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp70.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak Rp60.000.000,00
Rp10.000.000,00
BPHTB yang terutang (Rp10.000.000,00
x 5%) = Rp 500.000
J.
Saat Terutang Pajak
1. Sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk:
a.
Jual-beli
b.
Tukar-menukar
c.
Hibah
d.
Hibah wasiat
e.
Pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya
f.
Pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan
g.
Penggabungan
usaha
h.
Peleburan usaha
i.
Pemekaran usaha
j.
Hadiah
2. Sejak
tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang
3. Sejak
tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk
putusan hakim
4. Sejak
tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang
pertanahan, untuk waris
5. Sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, untuk:
a.
Pemberian hak
baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b.
Pemberian hak
baru di luar pelepasan hak
BPHTB
yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak[5].
K.
Tempat Pajak Terutang
Bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang yang dipungut di wilayah
daerah tempat tanah dan atau bangunan berada.
L.
Ketentuan Bagi Pejabat
Yang
termasuk dalam pengertian pejabat adalah:
1. Pejabat
pembuat akta tanah (PPAT)/notaris
2. Kepala
kantor yang membidangi pelayanan lelang negara
3. Kepala
Kantor bidang pertanahan
Untuk para pejabat tersebut berlaku
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. PPAT/notaris
hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan
setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. PPAT/Notaris yang
melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp7.500.000,00 untuk setiap pelanggaran
b. Kepala
kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 untuk setiap
pelanggaran
c. Kepala
Kantor bidang Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau
pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak. Setiap pelanggaran ketentuan ini dikenakan sanksi menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang peraturan disiplin Pegawai
Negeri Sipil
PPAT/Notaris
dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan
akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada
kepala daerah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Atas pelanggaran
ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00
untuk setiap laporan
[1]
Mardiasmo, PERPAJAKAN, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET, 2018)
[2]
Mardiasmo, PERPAJAKAN, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET, 2018)
[3]
Mardiasmo, PERPAJAKAN, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET, 2018) hlm. 396-398
[4]
Mardiasmo, PERPAJAKAN, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET, 2018)
[5]
Mardiasmo, PERPAJAKAN, (Yogyakarta: CV ANDI OFFSET, 2018) hlm. 400-401
Komentar
Posting Komentar